Jumat, 01 Juli 2011

Pendidikan Karakter

Pendidikan Karakter.... begitu pentingkah?

 Banyak yang berpendapat bahwa pendidikan karakter yang sedang dicoba untuk diterapkan di Indonesia gagal. Momennya adalah banyak dari siswa kita masih mencontek dalam ujian, parahnya lagi ada istilah contek masal. Bagaimana kita bisa berpendapat demikian, toh pendidikan karakter yang digembar-genborkan tersebut memang tidak berjalan.

Jika pendidikan karakter ini berjalan, mungkin saja akan ada perubahan yang positif terhadap perkembangan sumber daya manusia Indonesia.
Amiin.

 Pendidikan Karakter
Pencetus pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-spiritual dalam proses pembentukan pribadi ialah pedagog Jerman FW Foerster (1869-1966). Pendidikan karakter merupakan reaksi atas kejumudan pedagogi natural Rousseauian dan instrumentalisme pedagogis Deweyan.
Lebih dari itu, pedagogi puerocentris lewat perayaan atas spontanitas anak-anak (Edouard Claparède, Ovide Decroly, Maria Montessori) yang mewarnai Eropa dan Amerika Serikat awal abad ke-19 kian dianggap tak mencukupi lagi bagi formasi intelektual dan kultural seorang pribadi.
Polemik anti-positivis dan anti-naturalis di Eropa awal abad ke-19 merupakan gerakan pembebasan dari determinisme natural menuju dimensi spiritual, bergerak dari formasi personal dengan pendekatan psiko-sosial menuju cita-cita humanisme yang lebih integral. Pendidikan karakter merupakan sebuah usaha untuk menghidupkan kembali pedagogi ideal-spiritual yang sempat hilang diterjang gelombang positivisme ala Comte.
Tujuan pendidikan adalah untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial si subyek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Bagi Foerster, karakter merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi. Karakter menjadi identitas yang mengatasi pengalaman kontingen yang selalu berubah. Dari kematangan karakter inilah, kualitas seorang pribadi diukur.

Empat karakter
Menurut Foerster ada empat ciri dasar dalam pendidikan karakter. Pertama, keteraturan interior di mana setiap tindakan diukur berdasar hierarki nilai. Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan.
Kedua, koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut risiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang.
Ketiga, otonomi. Di situ seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau desakan pihak lain.
Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik. Dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.
Kematangan keempat karakter ini, lanjut Foerster, memungkinkan manusia melewati tahap individualitas menuju personalitas. ”Orang-orang modern sering mencampuradukkan antara individualitas dan personalitas, antara aku alami dan aku rohani, antara independensi eksterior dan interior.” Karakter inilah yang menentukan forma seorang pribadi dalam segala tindakannya.

Pendidikan Karakter di Indonesia

Banyak yang berpendapat bahwa pendidikan karakter yang sedang dicoba untuk diterapkan di Indonesia gagal. Momennya adalah banyak dari siswa kita masih mencontek dalam ujian, parahnya lagi ada istilah contek masal. Bagaimana kita bisa berpendapat demikian, toh pendidikan karakter yang digembar-genborkan tersebut memang tidak berjalan.

Jika pendidikan karakter ini berjalan, mungkin saja akan ada perubahan yang positif terhadap perkembangan sumber daya manusia Indonesia.

Amin. 

Entri Populer